Mandar sebagaimana daerah dan suku-suku lainnya di Nusantara, juga memiliki banya peninggalan sejarah khususnya bentuk pusaka mandar.
Untuk itu kami disini akan coba menyajikan berbagai jenis penginggalan pusaka yang ada di daerah mandar
Sebuah tasbih kuno berusia lebih dari empat abad terdapat di Binuang, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat (Sulbar). Tasbih berukuran besar dengan panjang sekitar 40 meter ini merupakan saksi sejarah penyebaran agama Islam di Polman.
Tasbih raksasa dimiliki seorang warga Kecamatan Binuang, Kabupaten Polman, Sulbar. Tasbih ini disebut telah berusia lebih dari empat abad atau 400 tahun. Memiliki panjang sekitar 38 meter (m) dengan jumlah tasbih sebanyak 3.300 buah.
Tasbih ini terbuat dari biji buah manjakani yang didatangkan langsung dari Makkah, Arab Saudi. Tasbih juga menjadi bukti sejarah atau sisa peninggalan penyebaran agama Islam di Polewali Mandar pada abad 16 silam. Tasbih hanya dikeluarkan pada waktu-waktu tertentu saja seperti pada Jumat, atau separuh bulan puasa, dan saat malam-malam ganjil bulan Ramadan.
Tasbih tersebut digunakan warga untuk berzikir.
Tasbih Kuno Raksasa

Sudah pernah mendengar legenda tentang senjata tersohor bernama Kowiq Poqgaq (ipoqgaq)? Senjata berupa pedang yang rumpang ini diperkirakan pernah eksis di kalangan Suku Mandar pada tahun 1840-an.
Tetua masyarakat adat di Kecamatan Sendana, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, Darman U Hamasa mengatakan, Kowiq Poqgaq konon sakti mandraguna. "Pusaka ini ada di generasi kelima Suku Mandar," ujarnya kepada Sulbarkita.com.
Menurut Darman, pedang itu ada kalanya tidak lagi rumpang saking saktinya. Tapi terkadang, Kowiq Poqgaq akan kembali rumpang. Uniknya, kondisi ini konon dipengaruhi bila ada tokoh Suku Mandar yang meninggal dunia.
“Kalau ada pemangku adat akan meninggal dunia, pedang akan rumpang di dekat gagang," ujar Darman. "Namun kalau yang akan meninggal dunia masyarakat biasa, yang rumpang di bagian ujung pedang."
Legenda Kowiq Poqgaq bermula dari kisah pendekar sekaligus algojo bernama Dula. Ia berasal dari sebuah kerajaan besar di Sulawesi Selatan, yang sengaja dikirim untuk melakukan invasi militer ke kerajaan-kerajaan di Mandar.
Alkisah, Dula beserta pasukannya tiba di sebuah kampung adat bernama Putta’da (sekarang menjadi salah satu desa di Sendana). Ketika itu, Putta’da merupakan jantung Kerajaan Sendana. Adapun Kerajaan Sendana sendiri tergabung dalam federasi sejumlah kesultanan Mandar pesisir Pitu Babana Binanga.
Dengan penuh keberanian, Dula berhasil menyita perhatian penduduk kala itu. Kalimat tantangan dengan lantang diucapkannya: ia ingin berduel dengan jagoan di kampung tersebut, yakni Saini. Mendegar tantangan itu, Saini atau lebih akrab dengan gelar Puangna Tammalai mengamini permintaan Dula.
Maka terjadilah pertarungan sengit di antara keduanya. Konon, Saini terlihat kerepotan karena tidak mampu sedikit pun melukai tubuh lawannya. Ini karena Dula memiliki ilmu kebal terhadap senjata tajam. Meskipun Saini mengeluarkan berbagai ajian, Dula tetap bertahan.
Namun, kondisi itu tidak menggetarkan keberanian Saini. Melihat kehebatan Dula, Saini memutuskan untuk menghunus sebuah pedang pusaka sakti mandraguna. Pertarungan kembali dilanjutkan, hingga Saini berhasil melukai beberapa bagian tubuh Dula. Ilmu kebal Dula serta-merta tak berfungsi, termakan pedang pusaka Saini.
Pertarungan yang berlangsung berjam-jam itu akhirnya menuai titik akhir. Dula yang sempoyongan berlari ke balik pepohonan bambu untuk mengamankan diri. Dengan teriakan yang lantang, Saini pun menerjang pohon bambu di sekelilingnya. Sekali tebasan, Dula akhirnya tewas. Pasukan Dula yang gemetaran melihat tuannya kalah, akhirnya angkat kaki.
Nah, senjata Saini itulah yang disebut-sebut sebagai Kowiq Poqgaq. Pusaka itu berhasil menebas pepohonan bambu di sekitar Dula menjadi dua bagian. Begitu pun tubuh si pendekar dari Sulawesi Selatan. Namun dalam duel itu pulalah Kowiq Poqgaq mulai rumpang, dan tersohor sampai sekarang.
Kowiq Poqgaq

Sebenarnya jambia merupakan senjata tradisional sejenis badik.
Jambia menjadi salah satu senjata tradisional khas Suku Mandar yang tersebar hampir di seluruh Pulau Sulawesi.
Dulunya senjata ini sering digunakan untuk berburu hewan hutan dan perlindungan diri masyarakat suku ini.
Ciri jambia bisa dilihat apakah mempunyai cipiq dan bisaq.
Cipiq adalah tanda pada jambia yang terbelah dua ujungnya,
Sedangkan bisaq adalah tanda membelah dua bagian tondong (tengkuk) maksudnya punggung badik, dan tembus dari atas hingga ke bawah bawah. (*)
Jambia

Jejak penyebaran agama Islam sejak dahulu kala masih bisa dijumpai di sejumlah daerah di Sulawesi. Seperti di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat misalnya, terdapat Al-Qur'an kuno yang ditulis tangan oleh ulama penyebar agama Islam bernama Syekh Abdul Mannan.
Al-Qur'an ini disimpan dan dirawat dengan baik di rumah Imam Masjid Purbakala di Salabose, Kelurahan Pangaliali, Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene. Untuk diketahui lingkungan Salabose sendiri menjadi salah satu titik penyebaran agama Islam di Tanah Mandar. Menurut Lontara Banggae, agama Islam di Salabose yang dahulunya menjadi pusat Kerajaan Banggae ini sudah masuk pada abad ke-16. Hal ini juga dibuktikan dengan keberadaan Masjid Kuno Syech Abdul Mannan dan Al-Qur'an kuno yang kini berusia 400 tahun.
Al-Qur'an yang diwariskan secara turun temurun ini ditulis tangan oleh Syekh Abdul Mannan pada tahun 1.600 an.
Kitab suci Al-Qur'an umat Islam berukuran 10x15 ini disimpan sebagai benda bersejarah, yang disimpan dalam kotak kayu. Al-Qur'an ini hanya dikeluarkan saat mengawali bulan suci Ramadan dan perayaaan maulid Nabi Muhammad Saw.
Al-Qur'an ini menjadi bukti sejarah penyebaran Islam saat Syekh Abdul Mannan datang membawa agama Islam di wilayah ini. Saat ini, Al-Qur'an yang sudah tidak utuh dan beberapa bagian robek disimpan oleh Imam Masjid Salabose, Muhammad Gaus yang juga masih keturunan Syekh Abdul Mannan. Masih terlihat jelas Al-Qur'an ini ditulis tangan rapi dan indah, terdapat perbaikan dan penjelasan di sisi kiri setiap lembaran Al-Qur'an tersebut.
Sementara itu, Al-Qur'an ini menjadi sarana edukasi sejarah penyebaran agama Islam. Sekaligus sebagai wadah untuk syiar Islam dan melestarikan peninggalan sejarah bagi generasi penerus bangsa. Imam Masjid Pubakala Salabose, Muhammad Gaus mengatakan, Al-Qur'an yang berusia sekitar 400 tahun ini ditulis tangan memggunakan getah pohon oleh Syekh Abdul Mannan pada abad ke 16.
"Kita sepakat bahwa Al-Qur'an ini ditulis tangan oleh Syekh Abdul Mannan. Al-Qur'an ini sudah ada sekitar 40 tahun lebih yang lalu, karena keberadaan Sekh Abdul Mannan pada abad 16," kata Gaus, Senin (18/3/2024). Menurutnya, sebelumnya ada Al-Qur'an ini biasanya dibaca saat memasuki bulan Ramadan, tetapi karena kondisinya sudah rapi sehingga hanya dikeluarkan saat kegiatan Maulid Nabi Muhammad Saw. "Karena sudah rapuh, jadi hanya dikeluarkan tiap tahun pada saat acara Maulidan, bersama dengan benda-benda pusaka lainnya," ujarnya. Ia menjelaskan, Al-Qur'an ini sudah beberapa kali diteliti dan diperiksa ulama dan ahli situs bersejarah dan petugas benda purbakala untuk memastikan tulisan dalam Al-Qur'an ini sama persis dengan Al-Qur'an pada umumnya.
Al-Qur'an Tulisan Tangan Berusia 400

Keris raksasa berusia 300 tahun dipamerkan saat pengukuhan Arruang Batu ke-XI di Tapango Kabupaten Polewali Mandar. Keris tersebut merupakan benda pusaka warisan leluhur dari raja pertama di tanah Mandar pada abad 18 silam
Keris raksasa berusia 300 tahun menjadi salah satu peninggalan leluhur yang masih tersisa di tanah Mandar, Sulawesi Barat. Belum lama ini, keris dipamerkan saat pengukuhan Arruang Batu ke-XI di Desa Palatta, Kecamatan Tapango, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Benda pusaka yang ditemukan di abad 18, memiliki panjang dua meter dan berat lebih dari lima kilogram. Bahan keris terbuat dari besi baja asli yang disepuh dengan emas murni. Jumlahnya ada enam buah dengan ukuran mulai dari yang paling besar hingga ukuran yang paling kecil.
Pengukuhan Arrauang Batu ke-XI berlangsung khidmat dengan diawali prosesi menabuh rebana sebagai penyambutan tamu agung dan raja dari berbagai wilayah.
Pengukuhan Arruan Batu ditandai dengan cara perangkat adat memasangkan songkok yang disebut "Passapu" yang terbuat dari kain sutera asli. Pemasangan Passapu sebagai simbol dipakaikan ke Andi Ilham Hambali yang resmi sebagai Arruan Batuke-XI.
Penobatan tersebut dihadiri oleh sejumlah pemangku adat dari beberapa wilayah seperti Kerajaan Binuang, Ma'dilka, Tomakaka, Arung Malolo serta beberapa kelompok bangsawan lainnya. Tak hanya itu, turut hadir pihak anggota perwakilan TNI, Polri dan beberapa tamu undangan lainnya.
Keris Raksasa Berusia 300 Tahun
